Aku hanyalah karyawan biasa dengan gaji yang biasa pula, entah karena nasib
atau mungkin tidak adanya kesempatan untuk menjadi yg lebih baik, atau
barangkali belum? Ketika masih jomblo, salama aku bekerja sama sekali aku tidak
pernah kelaparan, walau gaji kecil tapi cukup untuk hidup sendiri, tapi jangan
salah, aku pernah hidup skitar 3 hari hanya dengan minum air keran, badan
kurus, pengangguran. Alhamdulillah saat ini hidup ku lebih baik, punya
penghasilan sehingga aku dapat mencukupi kebutuhan, dan punya teman-teman yang
kebanyak orang-orang sholeh yang juga aktivis harokah... Tapi apa aku tetap akan
sendiri? Halah-halah.. truk aja gandengan masa’ aku enggak..? dan niat nikah
pun aku matangkan.
Setelah merenung dan minta nasihat guru, teman, dan kerabat, niatpun
kuhujamkan dalam hati: Aku harus nikah tahun ini atau paling tidak aku sudah melamar
seorang akhwat imut-imut yang makin lama makin banyak saja berseliweran
disekelilingku...(ya iya lah, kan elu panitia seminar remaja waktu itu).
Seorang ustad pun ku tuju untuk menyampaikan niatku untuk berumah tangga
dengan sistem ta’aruf, dan beliaupun dengan sangat senang akan membantuku agar
mendapatkan akhwat imut-imut itu. Tak berapa lama terjadilah pertukaran biodata
dan foto, dan tak berapa lama kemudian dipertemukan dengan dengan akhwat itu di
kediaman sang ustad dan istrinya. Dan beberapa minggu kemudian, stelah berfikir
dan kembali memastikan pondasi niat itu kokoh, akupun menyampaikan niat nikah
tersebut kepada orang tua di kampung, ortu sempat kaget, lalu menanyakan
kreteria untuk calon istriku. Aku mulai curiga, jangan-jangan ortu mau
mencarikan aku jodoh...? lalu aku sebutkan kreterianya: Menutup aurat dengan
rapi, ikut pengajian (harokah), umurnya lebih muda dariku, bisa ngaji dan
semacamnya... sejenak ortu terdiam, mungkin mikir kali yaaa.. ada ga anak gadis
dikampungku seperti kreteria yg aku sebutkan, langsung saja aku sampaikan kalo
aku sdah punya kandidatnya, dan bermaksud akan melamarnya.
Ortupun kaget dan bertanya bermacam hal ttg calon mantunya dan sdah kenal
berapa lama, aku jelaskan saja sperti yg ada di biodata (hehehe) dan ku bilang
baru kenal skitar 3 bulan... sangat terasa sekali kalo ortu seperti tidak
percaya kalo aku akan melamar calon istri yg baru kenal skitar 3 bulan lalu dan
bertemupun hanya sekali (dirumah ustad). Lalu aku jelaskan metode ta’aruf yg
aku tempuh selama ini. Ortu pun mengerti dan sepertinya tidak bisa berbuat
banyak karena hal-hal yg aku sampaikan sangat asing baginya, dan menyampaikan
agar mereka membiarkan ku mengurus pernikahanku sendiri.
Berjalan beberapa waktu, lamaranpun sdah direncanakan, aku datang bersama
ustad, teman dan sodara, sedang ortu didak ada karena masih di kampung (inilah
perantau). Lamaran berjalan lancar dengan menentukan tanggal pernikahan, 3
bulan lagi.
Dalam persiapan pernikahan, aku dan calon istri berkoordinasi dengan SMS,
email atau kadang Telepon, hanya sekedar saja, takut menjurus pacaran, dan
perasaan saat komunikasi itu terasa gimanaaaa gituh.... ingin rasanya besok
nikah aja biar bisa cubit pipinya.. hihihi..
Kami sepakat resepsi pernikahan akan diadakan secara Syar’i (tamu peria dan
wanita terpisah) dan didukung oleh paman calon istri yang merupakan ulama
dikampung tersebut dan sederhana saja, karena memang aku ga punya apa-apa
kecuali tabungan yg tidak sampai 13 juta. Itu aku alokasikan untuk mas kawin
dengan 10 gr emas, menyiapkan “seserahan” istilah sunda, menyewa kontrakan dan
peralatan rumah tangga lainnya. Karena dalam rencanaku, kehidupan berumah
tangga sebenarnya adalah ketika resepsi pernikahan selesai, disanalah yang
barang kali butuh uang untuk belajar terbang mengarungi rumah tangga.
Ternyata ortu calon istri meminta uang 10 juta untuk resepsi, karena
keseluruhan 20 juta, dan dibagi 2... mulailah aku pusing... calon istri sih ga
minta mahar banyak, 1 buah Al-Qur’an dan perlengkapan sholat saja cukup katanya
(aku perkirakan paling harganya tidak lebih dari 300 ribu) atau cincin dari
besipun tidak apa ... tapi lha camer minta begitu...? halah...halah... sang
istri sdah mencoba membujuk ortunya agar resepsi yang sederhana saja... tapi
itulah dikampung, ortu itu rata-rata ingin membuat resepsi meriah agar terkesan
sukses mengurus anak dan pamor dikampung tertap terja... ditengah kebingungan
itu sang calon istri yang sudah tau keuangankupun mulai pasrah kalau pernikahan
ini batal, sambil menangis (terlihat dari suaranya yg bergetar, tapi ditahan
sekuat mungkin agar tidak terdengar sedang menagis) bahwa mungkin kita tidak
berjodoh, dan rela kalo aku cari akhwat lain yang ortunya bisa maklum dengan
keadaanku... akupun menjadi galau.. stres... pusing... bingung... aku hanya
sebatang-kara di rantau orang ini, aku hanya punya teman dan saudara jauh... aku
benar-benar pusing... mundur atau maju....?
Aku selalu berfikir, kenapa nikah yang seharusnya mudah dan murah itu
menjadi sangat susah dan muaaaahal buat ku...? aku sempat berjanji dalam
diriku, kelak bila aku punya anak putri, dan hendak nikah aku akan mudahkan
urusannya dalam membuktikan bahwa nikah itu mudah dan murah....
Akhirnya seorang teman yang melihat ku begitu prustasi memberikan dukungan
moral (mereka juga masih jomblo, mereka menjadikan kasusku mejadi pelajaran
buat mereka bila akan melamar akhwat imut lainnya buat mereka), ya... seorang
teman meminjamkan uang 3 juta rupiah untuk membantu memudahkan langkahku.
Aku mencoba memupuk niatku kembali dan menghubungi calon istri melalui SMS
dan bilang: akan aku sanggupi, tapi setelah itu mungkin kita akan kekuarangan
uang... dengan mantap dia menjawab, iya... saya siap kok, ga apa-apa kekurangan
uang... yang penting bisa nikah dulu, yang lain nanti kita fikirkan sama-sama. Dan
mas kawin emas 10 gr pun tetap aku belikan dengan harga waktu itu skitar 3
juta, aku hanya punya uang skitar 3 juta lagi untuk keperluanku saat resepsi,
transport, sewa vila (karena resepsi dirumah calon istri di luar kota) dan
keperluan setelah suami-istri.
Resepsi berjalan lancar, dihadiri warga dikampung istri dan teman-temanku
pun ikut datang walau jauh... rasa bahagiapun sulit kulukiskan...
Pernikahan itu seharusnya Mudah dan Murah, tapi ya itu tadi, kalo bukan
camer ya ortu kita yang menjadikan pernikahan itu menjadi riweh, ya munking
mereka ingin mempersembahkan pesta besar buat anaknya dan tamu-tamunya. Tapi buatku,
aku lebih suka nikah di Masjid setempat, lalu berjalan ke rumah untuk menjamu
kerabat... yang simpel saja, karena kehidupan yang sesungguhnya adalah ketika
resepsi usai.... orang tua yang sukses dan patut bangga aku kira ketika
anak-anak mereka dapat berumah tangga dengan bahagia, lalu kemudian diramaikan
dengan adanya cucu dari mereka...
Semoga rekan-rekan tidak gentar untuk menikah, hanya orang berani yang bisa
menanamkan niat kuat untuk menikah, jangan dengan pacaran, karena hal tersebut
penuh kehinaan dan keharaman, masa’ iya nikah yang menjadi jalan kebaikan
dimulai dari pacaran yang penuh dengan keharaman...?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar