Selasa, Oktober 28, 2008

Hari ini, 2 bulan lagi


60 hari dari sekarang, hari menggetarkan itupun terlaksana, menyahut panggilan hati kita yang ingin berjalan menuntun mata angin ke arah matahari terbenam. Sosok asing yang tak kita kenal itu akan menjadi jiwa yang paling kita kenal kemudian. Inilah tabuhan bertalu milik insan yang bisa menjaga rindu.


Gelombang sorak merangkak panuh peluh itu sudah saatnya mati, dan hidup pada matahari yang baru. Mungkin bulan harus bersabar menunggu malam, atau bulan yang rindu itu tak kuasa menahan cinta, hingga harus memeluk matahari disiang hari. Tak bisa disalahkan bulan atau matahari, karena mereka memang diciptakan untuk berbagi.


Ada sesuatu yang berakhir, dan ada sesuatu yang berawal. Inilah langkah semua yang hidup, karena perubahanlah yang tak pernah berubah. Adalah kita yang ingin cinta itu terjaga dari bermula hingga tak berakhir, sampai Allah saja yang berkata lain.


Satukanlah hati yang masih terhijab ini, bukan hanya hati, tapi seluruh yang kita punya. jangan pernah merasa fakir, karena Allah menciptakan kita dengan banyak hal yang sangat istimewa. Kau istimewa, aku isimewa, dan kita sekumpulan orang yang istimewa.


60 hari lagi... sombongnya penggagas kebebasan dalam berekspresi pada lindungan baju kotornya bualan demokrasi itu akan menjadi pecundang dibawah kaki-kaki penegak risalah. Ini bukan kebetulan, karna pilihan kita untuk menjadi pejuang atau pecundang, maka jangan salahkan takdir karena hidayah itu dijemput, bukan di tunggu.


60 hari lagi... maka hijab tegas itu akan kita lepas, bukan untuk membuangnya, tapi untuk di warsikan kepada insan pecinta risalah lainnya. Jangan menunduk padaku, karena kau harus tatap mataku, dan menemukan tempatmu disana, sebagaimana aku merindukan tempat indah itu padamu.


Ucapkanlah salam kedatangan itu, karena dengan ijin Allah, salam untuk pulang tak akan pernah kita beri ruang. Kemudian lirik-lirik sajak berhambur kalah menatap rona nikah, lalu panggilan indah akan selalu terdengar antara kita... panggilan yang tak mungkin kita biarkan berakhir...

Minggu, Oktober 26, 2008

Tetaplah Perjuangkan


Kau masih ingat tentang bendera yang harus tetap berkibar? Ini adalah hari bersejarah buat kita, ini adalah langkah awal kita, ini adalah nol kilometer kita untuk hidup yang lain. Kita pasti ingin awal kehidupan baru ini tidak dimulai dari hal-hal yang tidak kita inginkan. Keinginanmu, sama seperti yang aku inginkan, maka kau sudah tak perlu repot meminta persetujuanku, paling hanya pemberitahuan saja. Bukannya aku percaya buta kepadamu, aku hanya sudah yakin bila kita punya keinginan yang sama, aku harap tetap seperti itu.

Aku memang tidak terlalu berkosentrasi pada walimah, bukannya walimah itu tak penting, karena dimataku, hidup kita sebenarnya adalah setelah walimah itu selesai. Saat kita sudah hidup bersama, disinilah segala komitmen kita akan teruji. Dan aku hanya ingin agar kau nyaman bersamaku, menjadikanmu benar-benar sebagai istri, dan menempati salah satu tempat teristimewa di hati.

Sejak namamu belum pernah ada di kepalaku, aku sudah sibuk menyiapkan banyak hal. Aku telah memiliki sedikit diantaranya, walau yang kupunya tak sebanyak yang di harapkan kebanyakan orang, tapi aku sudah wajib bersyukur kepada Allah karena hal yang sedikit itu, dan akan aku gunakan untuk menjemputmu, nama yang kemudian akan selalu di kepalaku...

Kaupun tentunya tahu, sudah banyak korban yang harus mati konyol dalam sebuah walimah. Karena pasangan yang ingin syar’i itu harus bertarung dengan orang yang mereka hormati, orang tua dan keluarga. Mereka harus kalah, tapi bukan karena mereka lemah, mereka kalah karena kecintaan kepada orang tua. Sungguh pertarungan yang tidak imbang.

Lantas, apa kita juga akan seperti ini? Mestinya aku tak tanyakan ini kepadamu bukan? Toh kaupun sudah tahu apa yang harus di usahakan dan dikerjakan. Disini, mungkin kita sedikit bersyukur, kanapa? Karena orang tua dan keluarga ku tidak akan bisa “berbicara” banyak tentang walimah ini, mereka memang sempat tanyakan kepadaku, aku jelaskan saja apa yang ada di kepalaku dan aku sampaikan pula bahwa ini keinginan kau dan aku. Aku tak tahu apa mereka kalah atau pasrah, tapi yang jelas, mereka akan ikut saja. Dan mudah-mudahan satu halangan telah terlewati.

Sekarang, apa kabarmu dan keluargamu? Aku tak akan menterormu. Toh kau juga sedang berjuang keras. Kau tidak sendiri, kita punya banyak teman yang bisa membantu. Apa yang kau butuhkan? Insya Allah bantuan akan segera datang.

Hanya mengigatkan saja:
...bahwa Allah akan memudahkan urusan orang-orang yang ingin menikah karena Dia...
Lantas, apa lagi yang kita risaukan? Tetap berjuang ukhti ku (...ups, apa aku sudah boleh bilang begitu?, akan segera di edit)

Tak ada (lagi) ragu



Bila kau tanya aku tentang perasaan ku pada keadaan yang sekarang, maka aku yakinkan kau bahwa kau tak perlu tanyakan itu lagi padaku. Aku tahu, semakin dekatnya hari H itu membuat orang akan semakin tidak yakin dengan langkahnya sendiri. Aku yakinkan kau, aku tidak seperti itu lagi, kita sudah melangkah jauh, banyak hal yang sudah dilakukan, mana mungkin perasaan sangsi itu semakin besar. Tidak, perasaan sangsi itu sudah semakin terkikis dan mungkin sekarang telah habis.


Aku tak punya rencana lain selain melanjutkan yang sudah kita usahakan, bukan berarti pilihan untuk mundur itu tidak ada, pilihan mundur itu pasti ada, tapi aku tak sempat menuliskannya di agenda pernikahan ini. Karena isi agenda pernikah ini semuanya tentang menjalankan pernikahan, dan agendanya sudah penuh, disana banyak hal yang akan dilakukan untuk mewujudkan impian yang ingin kita bangun. Kalaupun pilihan mundur itu harus tetap ada, maka yakinlah bahwa pilihan itu cuma ada di agenda orang lain.


Jelangan hari yang semakin tercium ini tak akan pernah lagi membuat ku harus takut seperti yang pernah kurasakan dulu. Aku memang sempat ragu akan langkah yang aku lakukan, pernah terpikir untuk memadamkan api yang sudah berani kita nyalakan itu. Tapi, api itu terlalu indah untuk dipadamkan, niat ini terlalu mahal untuk dibatalkan, dan dirimu terlalu baik untuk dijauhkan. Aku pasrah pada angin, aku sudah tahu angin akan membawaku kemana, tapi aku tak perduli, aku hanya menatap langit, dan meminta pencipta langit itu menyakinkanku tentang arah ini.


Suatu malam teduh, aku mengangkat semua renungan yang ingin ku adukan, mencabik semua gundahan kelana itu dan membongkar roda gila perjalanan...


Dan terhitung mulai saat itu, niat ini harus disempurnakan. Perjalanan ini akan kutempuh dengan kerinduan bersamamu, tentunya dengan hijab yang masih harus kita jaga. Selain Allah, hanya kita yang tahu, apakah hijab itu masih terpasang rapi ataukah sudah kita pecundangi. Menurutku, semuanya masih baik, dan akan tetap seperti itu sampai kita harus melepasnya sebentar lagi dan menyimpannya untuk orang lain.


Berjalanlah... karena kau sudah tak sendiri lagi. Walau tak terlihat, teman itu ada untukmu...

Selasa, Oktober 14, 2008

Dadaaahh waktu....


Hidupku yang mungkin tak seindah pelangi ini tak kan pernah membuat ku surut lagi menatap sangarnya matahari. Begitu jauh dari indahnya pelangi, hingga akupun lupa warna pelangi. Apa aku patah arang dengan keadaan yang seperti itu? Tidak. Karena warna bunga taman sudah cukup membuatku tersenyum.

Aku sudah tak mau menatap matahari, bukan aku sudah tak bernyali. Untuk apa aku harus mengalahkan matahari, toh kalaupun dia kalah apa untungnya buatku? Itu cuma makan waktu, lagian aku takkan bisa menggantikan tugas matahari, karena matahari juga tak bisa gantikan posisiku. Kalau pun bisa di gantikan, apa aku mau? Tidak! Di angkasa sana terlalu sepi, sedang di sini… ada makhluk berkerudung yang akan menemani. Jadi biarkan matahari dengan sinarnya, dan aku dengan hari-hariku.

Aku memang sudah lama berlayar, dan sekarang aku ingin berlabuh. Sejak jangkar ini diangkat dari sebuah pelabuhan entah-berentah, aku sudah mendambakan akan berlabuh pada dermaga impian, semakin lama aku berlayar, semakin aku merindukan dermaga itu. Kini, dermaga itu sudah di depan mata.

Memang awalnya aku merasa tidak yakin, inikah dermaga yang aku rindukan? Tapi kibaran kerudung itu membuatku yakin, inilah tempatku. Dan aku sangat berharap agar kerudung itu terus berkibar menyapaku, mengingatkanku, mengharapkanku juga merinduiku.

Mungkin masih terlalu pagi buatku untuk mengucapkan salam perpisahan kepada waktu. Yah, waktulah yang membatasiku kini. Tapi aku sudah tak tahan untuk menyampaikan kata perpisahan.

“hai waktu yang menyebalkan... emang enak ditinggalin? Aku sudah tidak ingin menunggumu lagi, karena sudah ada yang lebih enak untuk di tunggu. Kau terlalu menjemukan untuk menjadi teman, dan aku sudah punya teman lain yang bisa marah, bisa kesal, bisa senyum, bisa ngambek, bisa manja, bisa bikin repot, bisa bikin GR dan bisaaa..... ada deeehh..... hai waktu.... dadaaaaahhhhh....”