Senin, September 29, 2008

Langkah ini begitu berat...


Sejujurnya, aku tidak rindu kampung halaman, mungkin lebih tepat: belum. Aku tak tahu kenapa, bukankah semua orang yang jauh dari kampungnya akan menginginkan kembali? Seharusnya begitu, tapi tak tahu aku ini kenapa.

Menurutku, hal yang membuat seseorang sangat merindukan kampung halamannya adalah karena ada sesuatu di kampung halaman yang samasekali tidak ada di tanah perantauan. Jadi, orang akan sangat merindukan hal yang tidak ada itu untuk pulang.

Sedang aku, aku ga tahu apa yang aku rindukan di kampung halamanku. Paling orangtua ku dan masakannya, itu saja. Itupun karena aku sudah terbiasa jauh dari meraka, aku hidup seperti orang yang tidak punya orang tua, segala hal aku putuskan sendiri dan menanggung segala resikonya sendiri pula. Ah, aku tidak tahu aku ini kenapa.

Tapi… besi terbang ini tak mau tahu. Dia terus saja bergerak berlahan dengan angkuhnya. Sesaat kemudian dia membawaku terbang memecah angin membelah awan. Di atas sini, Tangerang begitu terlihat kecil, semakin jauh, jauh… dan tak terlihat lagi. Tapi aku menyimpan harapan besar disana. Semua cita-cita dan cinta ada disana.

Bumi ini bagai hilang di bawah awan, dan awan itu begitu terlihat memukau. Berbaris dengan bentuk tak teraturnya, mereka lebih terlihat seperti busa raksasa, manisan raksasa, atau padang salju, ah… semacam itulah.

Hampir 2 jam perjalanan menuju Medan. Kakiku terasa lemas mendengar pramugari menyampaikan bahwa kami beberapa menit lagi akan sampai di Polonia, Medan. Begitu kaki kananku menyentuh tanah Medan, aku ingin teriak… aku ingin kembali.

CellPhone yang semula aku matikan saat terbang aku nyalakan kembali begitu aku duduk di mobil penjemputan. Sebuah SMS datang, ini SMS pertama yang kuterima sejak di Medan, dari calon istriku, ini yang aku tunggu. “sudah sampai di Medankan? Buka… Buka…” karena aku dari tadi terus saja melamun, aku baru sadar kalau sekarang hampir tengah tujuh, sudah maghrib, dengan senyum, aku berbuka puasa dengan air yang aku bawa dari Tangerang. Ini senyum pertamaku di kota ini sejak tujuh tahun silam.

Perjalanan masih jauh. Supir taxi mengantarku ke stasiun pemberangkatan bis kecil menuju kampungku, Kutacane. Pukul 20.00 Wib, bis L300 ini melesat dengan gaya khasnya membawaku lebih jauh ke ujung sumatra. Aku terus saja melamun…tak percaya aku pergi begitu jauhnya dalam hitungan jam...

Jika bukan karena rencana pernikahan ini, tak akan pernah aku kembali. Sebenarnya, aku sudah niatkan tidak pulang sekalipun akan menikah, aku tidak tahu kenapa bisa berubah pikiran begini. Yang aku tahu, langkah ini begitu berat, mungkin aku terlalu jauh dengan calon istriku? Hmmm... barang kali.

Tidak ada komentar: