Senin, September 29, 2008

Mencari jejak masa lalu


Mungkin karena terlalu lama tidak pulang, aku lupa wajah desaku. Terlalu banyak berubah, sudah banyak rumah, padahal dulu disini masih banyak tanah kosong yang menjadi kebun atau sawah, apa bila sudah panen, sawah itu menjadi tempat main bola antar kampung… aku sempat nyasar. Tapi itu tak lama, karena aku coba kembali mengingat rumah-rumah yang dulu sering aku lewati, bukan hanya rumah, dulu, aku tahu berapa isi tiap rumah, termasuk nama mereka, pekerjaan, sekolah dan semacamnya. kini aku coba mebongkar ingatan itu kembali, di tengah subuh yang masih remang itu, aku masih bisa menemukan rumahku, rumah tempat aku dilahirkan.

Desa ini memang sudah banyak yang di penuhi rumah di sepanjang jalan, juga pohon-pohon semakin banyak, terlihat semakin rimbun saja. Masih seperti dulu, banyak burung kecil yang terbang bebas mencari makan di dahan pohon nangka, jambu, mangga dan rambutan disekitar rumah, mereka masih bernyayi seperti dulu. Ada pohon langka yang menurutku sudah banyak di tanam oleh semua orang di disini, mereka punya walau cuma 2 atau 4 pohon saja, pohon kakau (pohon coklat). Dulu tanaman ini sangat asing buatku, sekarang, pohon ini menjadi pohon emas. Banyak juga ditanam dikebun belakang rumah. Maklum, biji tanaman ini sedang meroket harganya, banyak orang kaya mendadak gara-gara tanaman ini.

Rumah ini agak sepi, maklum disini cuma ada ayah, ibu, adikku yang ke 4 yang masih SMA kelas 1 dan Putri kecil yang genit berumur 2 tahun 6 bulan. Dan sekarang di tambah aku. Adik ke 2 pergi ke Riau, kampung istrinya dan tinggal disana, adik ke 3 sedang tugas ke Bireun, dia Polisi, setelah lebaran baru pulang. Sewaktu aku kecil, rumah ini ramai, banyak teman-teman kami yang datang, juga banyak tamu ayah yang datang.

Masih seperti dulu juga, ayam-ayam disini masih saja masuk rumah orang sembarangan, dan buang kotoran seenak perutnya. Dulu kami punya banyak ayam dan bebek. Tapi banyak yang hilang di curi, juga banyak yang mati waktu terserang penyakit unggas mewabah di desa ini, sekarang tinggal 2 ekor, itupun pemberian Ayang (panggilan kepada saudara perempuan ibu yang ke 3). 2 ekor ayam berumur 4 bulan itulah penghuni kandang besar di belakang rumah.

Masih seperti dulu, rumah ini masih terlihat berantakan. Disana sini banyak yang kotor kurang terawat. Aku sendiri risih. Tapi aku tak berani banyak komentar. Menurutku rumah ini sudah termasuk modern, Ayah yang membuatnya, tapi kurang teratur saja. Lagi-lagi aku tak berani komentar. Dan seperti dulu, aku selalu rajin menyapu lantai, karena kakiku agak sensitif dengan kotoran kecil dibawah telapak kakiku. Aku mulai membersihkannya apa saja tanpa banyak bicara. Baru sedikit yang aku bersihkan, tiba-tiba rumah jadi agak berubah sedikit. Aku biasanya setiap habis shalat dzuhur di masjid langsung pergi melihat-lihat perkembangan kota, begitu menjelang buka puasa, aku pulang, dan mendapati rumah berubah.... yaaa walau masih berantakan, tapi ini lebih baik sedikit.

Tidak seperti dulu, dulu aku punya banyak teman, sekarang aku sudah tidak punya teman. Semua temanku dulu sudah pergi ke rantau orang, sama sepertiku. Kalaupun ada mereka sudah menikah, dan tidak tinggal disini lagi. Teman-teman seangkatanku semua sudah menikah, malahan ada yang sudah jadi janda 2 kali… sedang aku? Ah, aku tidak kalah, aku punya calon istri cantik nan solehah disana, tidak ada wanita yang seperti calon istriku di sini (huss... ini bukan gombalan pra-nikah loh, suer).

Aku dulu tidak bergaul dengan orang yang sudah tua, kalupun ada, hanya sekedar saja. Tapi sekarang, cuma kakek-kakek dan nenek-nenek inilah temanku, mereka sangat senang bertemu denganku. Aku sempat pusing dibuatnya kalau ditanya tentang istri, aku sudah jelaskan kalau aku sudah punya tunangan, tapi mereka tetap ngotot agar aku nikah saja sama orang Kutacane juga, alasannya, kalau aku nikah sama tunanganku yang sekarang, mereka tidak mungkin bisa melihat aku menikah, apalagi bertemu dengan istriku, karena mereka bilang, setelah aku menikah nanti, aku pasti akan lama kembali ke Kutacane, dan saat aku kembali bersama istriku, mereka pasti sudah di alam kubur... kalau aku perempuan, mungkin aku akan menangis mendengar ucapan mereka yang begitu memelas, berkata sambil melagukan lagu rintihan tempo dulu, rintihan khas untuk ucapan perpisahan. Saat menulis bagian ini juga tak terasa air mataku tumpah, nafasku seperti tertahan, tenggorokanku sakit karena menahan tangis, aku benar-benar ingin menagis...mungkin sebaiknya aku menangis dulu.......

..........
..........

Seperti dulu, permasalahan antar keluarga masih saja ada. Termasuk keluargaku, malah menurutku sudah semakin parah saja. Aku bingung bagaimana aku harus ambil sikap. Tapi aku pura-pura tidak tahu permasalahan itu, padalah ibuku sambil menangis menceritakan tentang perlakuan saudara-saudaranya (baik saudara dari ayah maupun ibu) yang sangat tidak adil bagi keluarga kami. Tapi aku tetap saja bersilaturahmi kepada mereka, dan mereka menyambutku dengan baik, aku juga memang tidak mengungkit-ungkit persoalan yang sedang ada. Iya, persoalan keluarga, sungguh ini pelajaran yang sangat mahal aku terima, aku tidak akan mengikuti jejak mereka, aku ingin silaturahmi ini berjalan baik selamanya. Duh Allah... sampai kapan masalah keluarga ini akan berakhir...

Tak bisa dipungkiri, makanan disini enak. Aku sudah berjalan-jalan di daerah kota, banyak makanan yang di jajakan disana apalagi Ramadhn ini, menjelang buka puasa banyak sekali. Seandainya ini bukan Ramadhan, aku pasti sudah menunaikan niatku untuk berwisata kuliner seperti yang di TV-TV itu. Niat itu harus di tunda sampai selesai lebaran.

Pada umumnya, banyak hal yang masih seperti dulu. Hal yang baru aku lihat antara lain, sudah banyak rumah penduduk desa ini yang juga berfungsi jadi kantor partai, baik nasional maupun lokal. Banyak yang membuka usaha sendiri, dulu juga ada, tapi tak sebanyak sekarang. Pembangunan gedung untuk berjualan sudah mulai memasuki desa, dulu cuma di kota saja, aku malah sempat berfikir kalau kota akan bergeser. Dulu yang punya antena parabola bisa di hitung dengan jari, sekarang hampir semua rumah punya, maklum, siaran TV disini terbatas, kalau dengan parabola bisa dapat banyak. Pembangunan disini mandeg sih, pejabatnya pada korup, malah seluruh Aceh... Aceh Tenggara ini yang paling terkenal korup, yang kaya ya pejabat itu. Kalau mau mendapat pangkat tinggi kita harus ikut partainya pejabat, kalo tidak, bakal digeser dengan alasan pembaharuan dan di ganti dengan kader partai yang menang. Tidak tahunya malah diisi sama orang yang tidak kompeten, maka wajar belaka disini pada main “OK, Bos”. Orang-orang yang terdidik dan cerdas katanya banyak yang lari ke daerah orang lain, karena di sini main “kekeluargaan”, lulus murni jadi PNS adalah mimpi.

Inilah jejak yang masih aku dapati di kampung halamanku. Jujur saja, aku ingin menjadikan kota ini menjadi kota teladan, apalah dayaku, aku tak punya apa-apa disini, semua orang jujur “diasingkan” ketempat lain, hingga tak bisa membuat perubahan. Aku yakin, akan ada waktu buatku untuk melakukan sesutu untuk menjadikan Kutacane ini menjadi lebih baik. Kata saudaraku, 20 tahun lagi baru akan berubah. Wah... paraaahhh...

Tidak ada komentar: